Pemberdayaan UMKM Daerah: Antara Niat Baik dan Realitas di Lapangan
Pemberdayaan UMKM yang mengalami kesenjangan di tengah masyarakat
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kompetisi ekonomi global, keberadaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tetap menjadi penyangga utama perekonomian daerah. Di Kalimantan Timur, misalnya, lebih dari 90 persen unit usaha tergolong UMKM dan menjadi penyerap tenaga kerja terbesar di luar sektor tambang. Tak heran, pemerintah daerah menjadikan pemberdayaan UMKM sebagai prioritas pembangunan ekonomi pasca-pandemi. Namun, niat baik pemerintah daerah untuk memperkuat sektor ini kerap terbentur realitas di lapangan. Beragam kebijakan dan program seperti pelatihan kewirausahaan, bantuan modal, hingga promosi digital telah digulirkan oleh Dinas Koperasi, UKM, dan Ekonomi Kreatif. Sayangnya, efektivitasnya masih jauh dari harapan. Banyak pelaku UMKM mengaku belum benar-benar merasakan manfaat yang berkelanjutan. Pelatihan sering kali bersifat seremonial, sementara pendampingan pasca-kegiatan masih minim. Salah satu kendala utama adalah ketidaksesuaian antara desain kebijakan dan kebutuhan riil pelaku UMKM di lapangan. Banyak program dirancang secara top-down tanpa analisis mendalam terhadap kapasitas lokal. Akibatnya, pelatihan digitalisasi UMKM, misalnya, sering diberikan kepada pelaku usaha yang bahkan belum memiliki perangkat memadai atau kemampuan dasar mengoperasikan aplikasi daring. Alih-alih memberdayakan, kebijakan ini terkadang justru membingungkan dan membuat UMKM kecil tertinggal dari mereka yang sudah lebih maju. Selain itu, akses terhadap permodalan masih menjadi momok klasik. Meski program Kredit Usaha Rakyat (KUR) terus digencarkan, banyak pelaku usaha kecil di Samarinda dan Kutai Timur yang kesulitan memenuhi persyaratan administrasi. Sebagian dari mereka tidak memiliki legalitas usaha, sehingga terpinggirkan dari skema pembiayaan formal. Di sinilah peran pemerintah daerah seharusnya hadir lebih kuat — tidak sekadar sebagai penyalur bantuan, tetapi sebagai fasilitator yang memampukan pelaku usaha untuk naik kelas.
Di sisi lain, kolaborasi antar-aktor dalam pemberdayaan UMKM masih perlu diperkuat. Dunia usaha, akademisi, dan komunitas kreatif di daerah sebenarnya memiliki potensi besar untuk membantu menciptakan ekosistem kewirausahaan yang inovatif. Sayangnya, koordinasi antar pihak ini masih berjalan parsial. Program pendampingan universitas tidak selalu sinkron dengan program pemerintah daerah, dan sektor swasta sering kali berperan hanya sebagai sponsor, bukan mitra pembangunan.
Kebijakan daerah yang ideal seharusnya mengarah pada model pemberdayaan yang partisipatif dan berbasis kebutuhan lokal (bottom-up). Artinya, pelaku UMKM harus dilibatkan sejak tahap perencanaan kebijakan — mulai dari pemetaan masalah hingga evaluasi hasil program.
Dengan begitu, kebijakan tidak hanya menjawab kebutuhan administratif pemerintah, tetapi benar benar menyentuh masalah fundamental pelaku usaha seperti akses pasar, rantai pasok, dan literasi keuangan. Kita juga perlu mengubah paradigma pemberdayaan dari sekadar “membantu” menjadi “menguatkan.” Bantuan modal atau hibah boleh jadi solusi jangka pendek, tetapi tanpa pendampingan bisnis yang berkelanjutan, kebijakan semacam itu hanya menjadi konsumsi politik sesaat. Pemerintah daerah sebaiknya lebih fokus pada pembangunan kapasitas (capacity building) dan dukungan kelembagaan yang memungkinkan UMKM tumbuh secara mandiri dan kompetitif.
Era digital sebenarnya membuka peluang besar bagi UMKM daerah untuk menembus pasar yang lebih luas. Akan tetapi, digitalisasi yang efektif membutuhkan literasi, infrastruktur, dan jejaring. Pemerintah tidak cukup hanya mengimbau UMKM “go digital,” tetapi juga harus memastikan mereka memiliki akses terhadap pelatihan, internet stabil, dan platform pemasaran yang terintegrasi. Kolaborasi dengan startup lokal, universitas, dan komunitas digital bisa menjadi langkah strategis untuk mempercepat proses ini. Pemberdayaan UMKM sejatinya bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga pembangunan sosial. Setiap pelaku UMKM adalah representasi dari kemandirian, kreativitas, dan daya tahan masyarakat daerah. Karena itu, kebijakan pemberdayaan tidak boleh dipandang sebagai proyek jangka pendek, melainkan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan daerah. Ke depan, Kalimantan Timur — terutama Samarinda — memiliki peluang besar untuk menjadi pusat pengembangan UMKM kreatif di luar Jawa, apalagi dengan hadirnya Ibu Kota Nusantara (IKN). Tetapi peluang itu hanya bisa terwujud bila kebijakan daerah benar-benar berpihak pada rakyat kecil, dirancang secara kolaboratif, dan dijalankan dengan komitmen serta transparansi.
Pemberdayaan UMKM bukan sekadar memberi bantuan, melainkan membuka jalan bagi lahirnya wirausaha mandiri yang tangguh dan berdaya saing. Di tangan mereka, ekonomi daerah akan tumbuh tidak hanya karena sumber daya alam, tetapi juga karena kekuatan manusia yang kreatif dan berdaya.
What's Your Reaction?
Like
1
Dislike
0
Love
0
Funny
0
Angry
0
Sad
0
Wow
0