Mengapa Akhir Tahun Identik dengan Cuaca Ekstrem

Dec 14, 2025 - 16:50
Dec 14, 2025 - 22:43
 0  8
Mengapa Akhir Tahun Identik dengan Cuaca Ekstrem
(Istimewa)

KARTANEWS.COM, INDONESIA – Setiap memasuki penghujung tahun, masyarakat Indonesia hampir selalu dihadapkan pada kondisi cuaca ekstrem, mulai dari hujan lebat berkepanjangan, angin kencang, hingga meningkatnya risiko banjir, tanah longsor, dan bencana hidrometeorologi lainnya. 

Fenomena ini kerap dianggap sebagai siklus tahunan biasa. Namun, secara ilmiah, kondisi tersebut merupakan hasil dari interaksi kompleks antara dinamika atmosfer tropis dan dampak perubahan iklim global yang semakin nyata.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa periode Desember hingga Januari merupakan fase paling aktif dalam sistem iklim Indonesia. Pada fase ini, berbagai faktor atmosfer bekerja secara bersamaan, saling memperkuat, dan menciptakan kondisi yang sangat kondusif bagi terbentuknya cuaca ekstrem.

Puncak Musim Hujan Akibat Dominasi Monsun Asia

Secara klimatologis, akhir tahun menandai dominasi Angin Monsun Asia di wilayah Indonesia. Monsun ini bergerak dari Benua Asia yang bertekanan udara tinggi menuju Benua Australia yang bertekanan lebih rendah.

Dalam perjalanannya, angin monsun melintasi wilayah perairan yang sangat luas, seperti Laut Cina Selatan, Samudra Pasifik bagian barat, dan Samudra Hindia. Proses ini menyebabkan massa udara yang bergerak membawa kandungan uap air dalam jumlah besar.

Ketika massa udara lembap tersebut memasuki wilayah Indonesia yang berada di kawasan tropis, uap air dengan mudah mengalami kondensasi dan membentuk awan hujan berskala besar. Awan-awan jenis Cumulonimbus yang dikenal sebagai awan penghasil hujan lebat, petir, dan angin kencang, terbentuk secara masif.

Kondisi inilah yang menjadikan bulan Desember dan Januari sebagai periode dengan curah hujan tertinggi di banyak wilayah Indonesia, terutama di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua bagian selatan.

Aktivitas Dinamika Atmosfer Tropis yang Sangat Aktif

Selain monsun, wilayah Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai fenomena atmosfer tropis yang berperan sebagai “penguat” hujan ekstrem.

Salah satunya adalah Madden-Julian Oscillation (MJO) yaitu gelombang pergerakan awan hujan skala besar di wilayah tropis yang bergerak dari Samudra Hindia ke arah Samudra Pasifik. Ketika fase aktif atau fase basah MJO melintasi wilayah Indonesia, intensitas hujan dapat meningkat secara signifikan.

BMKG menjelaskan bahwa MJO tidak hanya menambah curah hujan, tetapi juga memperpanjang durasi hujan dan meningkatkan peluang terjadinya hujan ekstrem dalam waktu singkat.

Selain MJO, terdapat pula gelombang ekuator seperti Gelombang Kelvin dan Gelombang Rossby. Fenomena ini berperan dalam mempercepat pertumbuhan awan hujan di sekitar wilayah khatulistiwa, termasuk Indonesia.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah suhu permukaan laut di wilayah Maritim Kontinen Indonesia. Pada akhir tahun, suhu permukaan laut cenderung berada pada kondisi hangat hingga sangat hangat. Laut yang hangat meningkatkan proses penguapan secara signifikan, sehingga menyuplai energi dan uap air dalam jumlah besar ke atmosfer.

Energi dan uap air ini kemudian dimanfaatkan oleh sistem cuaca untuk membentuk hujan dengan intensitas tinggi, bahkan ekstrem.

Perubahan Iklim Global sebagai Faktor Pengganda Risiko

Para ahli iklim menegaskan bahwa dinamika atmosfer alami yang terjadi saat ini semakin diperparah oleh perubahan iklim global atau pemanasan global.

Kenaikan suhu rata-rata global menyebabkan atmosfer menjadi lebih hangat dan mampu menampung uap air dalam jumlah yang lebih besar. Secara ilmiah, setiap kenaikan suhu global sebesar 1 derajat Celsius dapat meningkatkan kapasitas udara menahan uap air sekitar 7 persen.

Konsekuensinya, ketika proses hujan terjadi, volume air yang dilepaskan ke permukaan bumi menjadi jauh lebih besar dibandingkan kondisi iklim normal. Inilah yang menyebabkan mengapa hujan saat ini cenderung lebih deras, lebih intens, dan berpotensi menimbulkan bencana dalam waktu singkat.

Perubahan iklim juga memicu anomali pola musim, termasuk pergeseran awal musim hujan dan kemarau. Fenomena global seperti La Niña yang ditandai dengan pendinginan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik, diketahui meningkatkan curah hujan di Indonesia. Ketika La Niña berinteraksi dengan kondisi atmosfer yang telah dipanaskan oleh perubahan iklim, dampaknya menjadi lebih kuat dan berkepanjangan.

Akibatnya, periode hujan lebat dapat berlangsung lebih lama dari biasanya dan meluas ke wilayah yang sebelumnya relatif aman.

Risiko Bencana Hidrometeorologi Meningkat

BMKG mencatat bahwa kombinasi faktor-faktor tersebut secara langsung meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang atau puting beliung, serta gelombang tinggi di wilayah perairan.

Wilayah dengan topografi perbukitan, daerah aliran sungai, serta kawasan perkotaan dengan sistem drainase terbatas menjadi daerah yang paling rentan terdampak.

Imbauan dan Langkah Kesiapsiagaan

BMKG mengimbau masyarakat untuk tidak menganggap cuaca ekstrem sebagai fenomena biasa. Langkah mitigasi sederhana, seperti membersihkan saluran drainase, memperkuat bangunan, memangkas pohon yang rawan tumbang, serta menyiapkan rencana evakuasi, dinilai penting untuk mengurangi dampak risiko. (AUNI)

What's Your Reaction?

Like Like 0
Dislike Dislike 0
Love Love 0
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 0