Gratispol di Tengah Isu Pemotongan DBH “Mati Suri atau Tumbuh Subur”
Keberlanjutan Program Gratispol di tengah isu pemotongan DBH Daerah dari Pemerintah Pusat akan menjadi pertanyaan mendasar, mengingat bahwa dalam rangka merealisasikan kebijakan dimaksud membutuhkan anggaran yang cukup besar dan di samping itu banyak pula kebutuhan-kebutuhan prioritas lain yang menunggu untuk dilaksanakan.
KARTANEWS.COM -- Program Gratispol yang diluncurkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 2025 menjadi salah satu kebijakan paling ambisius dalam agenda pembangunan sumber daya manusia di daerah. Dengan memberikan pembebasan biaya pendidikan mulai tingkat SMA sederajat hingga perguruan tinggi, kebijakan ini secara normatif ingin menegaskan bahwa kualitas manusia menjadi prioritas strategis. Target puluhan ribu penerima manfaat pada 2026 memperlihatkan skala kebijakan yang tidak kecil dan berpotensi menciptakan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat.
Namun program ini hadir pada saat dinamika fiskal nasional sedang mengalami tekanan, termasuk isu pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) Provinsi Kalimantan Timur hingga 75% pada tahun 2026 yang menjadi salah satu sumber penerimaan penting bagi daerah. Wacana ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa ruang fiskal daerah dapat menyempit, memengaruhi kemampuan pemerintah untuk mempertahankan belanja wajib dan belanja prioritas. Dalam konteks seperti ini, keberlangsungan program berskala besar seperti Gratispol tentu tidak dapat dilepaskan dari kemampuan daerah menjaga stabilitas fiskal dan konsistensi penganggaran.
Meski demikian, Pemerintah Provinsi Kaltim secara resmi menyatakan bahwa Gratispol tetap menjadi prioritas utama pada tahun anggaran berikutnya. Komitmen anggaran yang disiapkan untuk 2026 menunjukkan bahwa pemerintah daerah berupaya mempertahankan kesinambungan program tersebut, bahkan di tengah ketidakpastian arus fiskal nasional. Sikap ini tentu patut diapresiasi karena jarang ada pemerintah daerah yang mempertahankan investasi sumber daya manusia pada saat tekanan fiskal sedang tinggi.
Implementasi awal pun telah menunjukkan hasil konkret. Sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta telah menerima alokasi dana yang ditujukan untuk menanggung UKT mahasiswa. Di beberapa kampus besar, mayoritas mahasiswa baru telah dinyatakan sebagai penerima manfaat program. Fakta ini memperlihatkan bahwa Gratispol bukan sekadar gagasan, tetapi telah memasuki fase operasional dan menyentuh sasaran.
Namun di balik capaian tersebut, sejumlah masalah mendasar tidak dapat diabaikan. Laporan terkait keterlambatan pencairan dana menunjukkan bahwa mekanisme administrasi masih belum sepenuhnya siap bekerja pada skala sebesar ini. Ketika realisasi dana tidak tepat waktu, kampus mengalami kesulitan dan mahasiswa dirugikan, terutama mereka yang bergantung penuh pada bantuan pendidikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah desain tata kelola program sudah benar-benar matang, ataukah pelaksanaannya dipaksakan lebih cepat daripada kesiapan sistem?
Dalam perspektif kebijakan publik, Gratispol saat ini berada di persimpangan. Bila pemerintah daerah mampu menjaga komitmen fiskal, memperbaiki koordinasi antar lembaga, serta menata ulang mekanisme verifikasi dan distribusi dana, program ini berpeluang menjadi instrumen kuat dalam memperbaiki kualitas pendidikan dan menghadirkan pemerataan kesempatan belajar. Dengan kata lain, Gratispol dapat “tumbuh subur” bila konsistensi pengelolaan tetap dijaga.
Namun bila ketergantungan terhadap DBH dan transfer pusat tidak disertai dengan sumber pendapatan daerah, maka program ini tetap berada dalam risiko tinggi. Pada saat fiskal nasional tertekan, program daerah yang tidak memiliki skema pendanaan jangka panjang biasanya menjadi korban pertama rasionalisasi anggaran. Risiko inilah yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Gratispol suatu hari dapat memasuki fase “mati suri”: tetap ada dalam dokumen perencanaan, tetapi manfaatnya menyempit, pencairannya tidak pasti, dan dampaknya tidak lagi signifikan.
Di titik ini, kritik utama yang perlu disampaikan adalah bahwa program sebesar Gratispol tidak boleh semata-mata bergantung pada momentum politik atau antusiasme awal. Ia harus ditopang oleh kalkulasi fiskal jangka panjang, reformasi tata kelola, dan transparansi penuh dalam pemanfaatan anggaran. Tanpa itu, program yang pada dasarnya dirancang mulia dapat menjadi beban struktural yang justru melemahkan kemampuan daerah merespons kebutuhan lain yang juga mendesak.
Oleh karena itu, Gratispol harus terus dievaluasi dengan pendekatan berbasis bukti dan data. Pemerintah perlu membuka data realisasi, menyampaikan laporan perkembangan secara berkala kepada publik, dan memastikan bahwa perguruan tinggi memiliki saluran komunikasi yang memadai untuk menyampaikan kendala teknis. Kebijakan besar menuntut pengawasan besar, dan hanya dengan itu program dapat benar-benar berkembang secara berkelanjutan.
Dengan demikian, pertanyaan “mati suri atau tumbuh subur?” sesungguhnya kembali kepada konsistensi pemerintah daerah dalam menjaga prioritas pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Gratispol masih memiliki peluang besar untuk menjadi warisan kebijakan yang progresif, tetapi hanya jika keberanian politik diimbangi dengan ketelitian fiskal dan kedisiplinan tata kelola. Tanpa itu, program ambisius ini dapat kehilangan daya dorongnya dan perlahan bergeser menjadi wacana tanpa daya guna nyata.
What's Your Reaction?
Like
0
Dislike
0
Love
0
Funny
0
Angry
0
Sad
0
Wow
0