MBG di Persimpangan: Gizi Anak Meningkat, Ekonomi Daerah Tertekan
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu kebijakan yang saat ini mendapatkan sorotan luas dari masyarakat Kutai Kartanegara. Di satu sisi, masyarakat mengakui bahwa pemberian makanan bergizi satu kali sehari di sekolah dapat meningkatkan kualitas gizi anak, memperkuat konsentrasi belajar, serta membantu keluarga berpenghasilan rendah dalam mengurangi beban pengeluaran harian. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran publik mengenai efisiensi fiskal daerah, risiko inflasi, dan tantangan pemenuhan pangan pokok.
Dari perspektif efisiensi anggaran, sebagian masyarakat mempertanyakan besarnya alokasi belanja yang diperlukan untuk menyediakan makanan harian bagi seluruh siswa. Pengadaan rutin dalam skala besar dinilai berpotensi menyerap ruang fiskal yang seharusnya dapat dialokasikan untuk program prioritas lainnya, seperti peningkatan fasilitas sekolah, layanan kesehatan masyarakat, ataupun pengentasan kemiskinan. Jika kebijakan ini dijalankan tanpa manajemen anggaran yang ketat, MBG berpotensi menimbulkan beban fiskal jangka panjang dan membuat daerah kurang fleksibel dalam merespons kebutuhan mendesak.
Selain itu, terdapat potensi tekanan inflasi, khususnya pada komoditas pangan pokok. Program MBG membutuhkan pasokan bulanan dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan beras, ayam, telur, sayuran, dan bumbu dapur. Lonjakan permintaan yang berasal dari pengadaan terpusat pemerintah daerah dapat memunculkan distorsi harga di pasar lokal. Pelaku usaha kecil dan rumah tangga mengeluhkan bahwa ketersediaan beberapa komoditas menjadi lebih fluktuatif sejak program ini berjalan. Kondisi ini memperkuat persepsi bahwa MBG, apabila tidak disertai strategi stabilisasi harga yang memadai, dapat menjadi salah satu faktor pendorong inflasi pangan di Kutai Kartanegara.
Tantangan lainnya adalah pemenuhan pangan pokok di tingkat lokal. Jika pasokan bahan baku MBG tidak terintegrasi secara optimal dengan petani, peternak, dan produsen lokal, maka daerah akan semakin bergantung pada distributor eksternal. Ketergantungan ini dinilai berisiko, terutama ketika terjadi gangguan cuaca, kenaikan harga nasional, atau hambatan distribusi. Keberlanjutan MBG membutuhkan integrasi kuat dengan rantai pasok lokal agar program tidak melemahkan produktivitas sektor pangan daerah dan tidak mengganggu ketersediaan bahan pokok bagi masyarakat umum.
Meski demikian, saya menilai bahwa MBG tetap membawa dampak positif, terutama dalam hal perbaikan gizi siswa sehingga proses Transfer knowledge pada pembelajaran di sekolah dapat terlaksana dengan baik. Orang tua dari keluarga yang kurang mampu—secara ekonomi sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan gizi anak mereka—juga merasakan manfaat langsung. Program ini juga dapat membuka peluang usaha bagi katering lokal dan penyedia bahan pangan apabila dikelola secara transparan dan inklusif. Dalam jangka panjang, MBG berpotensi memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan kualitas pembangunan manusia.
Secara keseluruhan, keberlanjutan program MBG sangat bergantung pada program pendukung yang mampu mengantisipasi berbagai potensi ancaman yang mungkin muncul ke depan. Selain itu, implementasi kebijakan ini harus diawasi dengan ketat agar pelaksanaannya benar-benar aman dan tidak menimbulkan kejadian yang dapat menghambat pencapaian tujuan program, bahkan berisiko mengancam kesehatan siswa penerima MBG. Harapan saya, program MBG tidak hanya memberikan manfaat dalam pemenuhan gizi anak, tetapi juga menjadi instrumen pembangunan berkelanjutan yang mampu memperkuat ketahanan pangan tanpa mengorbankan stabilitas fiskal dan harga di daerah.
What's Your Reaction?
Like
0
Dislike
0
Love
0
Funny
0
Angry
0
Sad
0
Wow
0