Sepekan Setelah ‘Tsunami Sungai’, Aceh Tamiang Berjuang di Tengah Kerusakan dan Krisis Sanitasi
KARTANEWS.COM, SUMATERA — Sepekan setelah banjir bandang dahsyat yang oleh warga disebut sebagai “tsunami air sungai” kondisi Kabupaten Aceh Tamiang masih berada dalam fase tanggap darurat. Meski air mulai surut di sejumlah wilayah, situasi di lapangan tetap memprihatinkan, ditandai dengan meningkatnya jumlah korban jiwa, kerusakan infrastruktur yang melumpuhkan aktivitas masyarakat, serta krisis kemanusiaan di posko-posko pengungsian.
Banjir bandang yang melanda sebelumnya, kini dikonfirmasi sebagai salah satu bencana terbesar dalam sejarah Aceh Tamiang, bukan hanya karena ketinggian air yang mencapai tiga meter tetapi juga derasnya arus yang menghanyutkan permukiman.
Berdasarkan Ada 57 orang dilaporkan meninggal dunia, sementara 23 orang lainnya masih hilang berdasarkan data Posko Komando Pemerintah Aceh per 6 Desember 2025. Tim SAR terus melakukan pencarian di area yang dipenuhi puing dan lumpur. 262.087 jiwa terdata sebagai pengungsi dan masih bertahan di tenda-tenda darurat maupun fasilitas umum yang selamat dari terjangan banjir.
2.262 unit rumah terdampak dengan 780 rumah rusak berat atau hilang tersapu arus. Salah satu kampung dilaporkan hanya menyisakan bangunan masjid sebagai struktur yang masih berdiri.
Krisis Sanitasi dan Ancaman Kesehatan
Turunnya permukaan air justru memunculkan persoalan baru yang tak kalah mengkhawatirkan. Krisis air bersih terjadi di hampir seluruh kecamatan terdampak. Banyak warga terpaksa mengonsumsi air sungai atau air hujan yang tidak layak minum.
Bau bangkai ternak sapi, kambing, dan unggas menyengat di berbagai titik. Hewan-hewan tersebut mati terbawa arus dan belum seluruhnya berhasil dievakuasi, menimbulkan risiko penyakit diare, infeksi kulit, serta ISPA.
Akses dan Distribusi Bantuan Masih Tersendat
Walau jalan nasional penghubung Aceh Tamiang–Sumatra Utara sudah mulai dapat dilewati truk berat sejak 3 Desember, banyak wilayah hulu masih sulit dijangkau.
Sejumlah desa tetap terisolasi akibat jembatan yang putus serta tumpukan material kayu dan lumpur. Distribusi bantuan harus dilakukan melalui jalur sungai menggunakan sampan, serta pelemparan bantuan udara (airdrop) yang dikoordinasikan dengan Mabes Polri.
Kebutuhan utama yang saat ini mendesak meliputi makanan siap saji, air mineral, selimut, terpal, dan obat-obatan. Aktivitas pemerintahan di 12 kecamatan terhenti dengan laporan kerusakan mencakup 54 fasilitas pendidikan dan 33 rumah ibadah.
BNPB bersama Pemerintah Aceh kini memusatkan upaya pada pembersihan lumpur dalam skala besar, terutama di pemukiman padat dan fasilitas publik. Pencarian korban hilang dengan dukungan tim SAR gabungan dan pemulihan kebutuhan dasar, termasuk penyediaan air bersih, layanan kesehatan darurat, dan percepatan pendistribusian logistik. (AUNI)
What's Your Reaction?
Like
0
Dislike
0
Love
0
Funny
0
Angry
0
Sad
0
Wow
0