Darurat Kekerasan Anak Saat Keluarga Bukan Lagi Tempat Aman

Rumah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak, namun kini justru menjadi ruang yang menyimpan ancaman. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sepanjang tahun 2024 terdapat 265 pengaduan kasus kekerasan seksual terhadap anak, dan mirisnya, sebagian besar pelaku adalah orang tua kandung atau keluarga terdekat. Fenomena ini memperlihatkan bahwa perlindungan anak tidak cukup hanya diatur dalam undang-undang, tetapi harus dihidupkan dalam praktik keseharian keluarga.

Nov 6, 2025 - 15:45
Nov 6, 2025 - 18:18
 0  3
Darurat Kekerasan Anak Saat Keluarga Bukan Lagi Tempat Aman
Ilustrasi Penulis Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Di balik pintu rumah yang seharusnya menjadi benteng uama bagi anak-anak, tersimpan kenyataan pahit, angka kekerasan seksual terhadap anak oleh orang tua kandung atau keluarga terdekat terus meningkat. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tahun 2024 tercatat 265 pengaduan kasus kekerasan seksual pada anak. Fenomena ini bukan hanya luka bagi korban, namun juga cermin kegagalan kita melindungi generasi sejak ruangan terkecil mereka yaitu, rumah.

Meski regulasi seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah ada, implementasi di Tingkat keluarga masih menyisakan banyak celah. KPAI mencatat bahwa hingga Juni 2024, dari kasus 262 kasus kekeresan anak yang dilaporkan, sebanyak 153 di antaranya melibatkan ibu kandung sebagai pelaku. Artinya bukan hanya pelaku eksternal yang harus diwaspadai, melainkan orang yang seharusnya menjadi pelindungan anak. 

Salah satu kendala utama adalah budaya “menutup aib keluarga”. Banyak korban tidak  melapor karena pelaku adalah orang tua kandung, korban takut stigma dan dependasi ekonomi. Ini membuat sistem pelaporan dan perlindungan anak di tingkat keluarga menjadi sangat rentan. Sebuah laporan menunjukan bahwa kasus kekerasan seksual anak meningkat hampir 60% dalam satu tahun terakhir dan mayoritas pelaku adalah orang terdeket korban. Kenyataan ini menuntut kebijakan yang tak hanya reaktif tapi benar-benar preventif dan berbasis keluarga. 

Pencegahan berbasis keluarga harus menjadi strategi utama. Sekolah, tenaga kesehatan, tokoh agama, dan masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam mendeteksi tanda-tanda kekerasan dirumah. Tidak cukup hanya pelatihan, tetapi juga perlu ada mekanisme pelaporan aman dan kerahasiaan bagi korban. Data menunjukan bahwa tempat kejadian kekerasan kini tidak hanya di luar rumah, namun kerap “di dalam” rumah sendiri. Rumah yang aman harus kembali dihidupkan, 
bukan hanya di permukaan kebijakan. 

Di tingkat kebijakan publik, pemerintah daerah harus menginisiasi sistem perlindungan anak berbasis komunitas, pusat layanan terhadap di kecamatan, perguruan sekolah yang menerapkan program pengasuhan positif, dan kampanye publik yang merombak mindset bahwa anak adalah milik orang tua, bukan objek kekuasaan. Sinergi antar lembaga seperti dinas sosial, kepolisian dan organisasi masyarakat menjadi kunci agar kebijakan tidak berhenti di atas kertas.  

Melindungi anak dari kekerasan seksual oleh orang tua kandunng bukan sekedar tugas moral melainkan kewajiban negara dan masyarakat. Ketika anak-anak kita merasa aman di lingkungan paling dasar mereka, kita investasi untuk masa depan bangsa yang lebih manusiawi. Sudah saatnya kita mengatakan bahwa rumah harus menjadi tempat kasih sayang, bukan kekerasan. 

What's Your Reaction?

Like Like 1
Dislike Dislike 0
Love Love 0
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 0